Rabu, 06 Maret 2019

DA'WAH ISLAM SEBELUM WALI SONGO

Pada abad 7 masehi, Islam sudah mulai masuk ke Nusantara Jawa. Dalam studies in the historical geografi of the Malay yang dikarang oleh Wheatley, bahwa dakwah Islam datang
ke Indonesia, dimulai oleh para pedagang Arab yang sudah membangun jalur perdagangan dengan Nusantara Jauh sebelum Islam.

Datangnya saudagar Arab di Kerajaan Kalingga pada abad ke 7 di era kekuasaan Ratu Shima yang dikenal keras dalam menjalankan hukum, diberitakan cukup panjang oleh sumber-sumber Cina dari Dinasti Tang. SQ. Fatimi dalam Islam comes to Malaysia mencatat bahwa pada abad ke-10 masehi, terjadi migrasi/perpindahan  keluarga-keluarga Persia ke Nusantara yang tersebar di antara keluarga-keluarga itu adalah sebagai berikut:

Keluarga lor, yang datang pada zaman kerajaan  Nazirudin bin  badar, memerintah wilayah lor di persia tahun 300 hijriah atau 912 masehi. Keluarga lor ini tinggal di jawa dan mendirikan kampung dengan nama loran/leran, yang bermakna kediaman orang-orang lor.
Keluarga Jawani yang datang pada zaman jawani al kurdi memerintah Iran sekitar tahun 300 H. /1912 masehi. Mereka tinggal di pasai, Sumatera Utara.
Keluarga ini yang diketahui menyusun 'khat jawi', artinya tulisan jawi yang di di nisbatkan kepada jawani.

Keluarga syiah, yang datang pada masa pemerintahan Rhuknud daulah bin hasan bin Buwaih ad dailami sekitar tahun 357 H. /969 masehi.
Keluarga ini tinggal di bagian tengah sumatra Timur  dan mendirikan kampung di situ yang dikenal dengan nama Siak.yang kemudian menjadi negeri siak.
Keluarga rumai dari puak sabankarah, yang tinggal di utara dan timur Sumatera. Penulis penulis Arab pada abad ke-9 dan 10 M. menyebut pulau sumatera dengan nama Rumi, al Rumi, Lambri, dan Lamuri.
 

Semenjak  catatan dinasti Tang tentang orang-orang arab sampai terjadinya migrasi keluarga-keluarga persia, dalam rentang waktu berabad-abad kemudian, tidak terdapat bukti bahwa islam pernah dianut secara luas di kalangan penduduk pribumi Nusantara. Tanda tanda yang muncul justru terjadi semacam resistensi/penolakan secara brutal dari penduduk setempat, terhadap usaha usaha penyebaran lslam.
Historiografi Jawa yang ditulis R Tanoyo  mengungkapkan bahwa dalam usaha meng islamkan Jawa, Sultan al Gabah dari negeri Rum mengirim 20.000 keluarga muslim ke pulau jawa. Namun, banyak diantara mereka yang tewas terbunuh dan yang tersisa hanya sekitar 200 keluarga. Sultan al gabah dikisahkan marah, kemudian mengirim ulama syuhada dan orang sakti ke jawa untuk membinasakan para "jin siluman dan bekasaan" penghuni Jawa.

Salah satu diantara ulama sakti itu, adalah syheikh subakir. Dia dikenal sebagai seorang wali keramat dari persia yang dipercayai telah "menanam tumbal" di sejumlah tempat, di pulau jawa agar kelak pulau  tersebut, dapat di huni umat Islam. Di sejumlah tempat di pantai utara Jawa yang dikenal sebagai makam panjang baik yang terdapat di GRESIK, LAMONGAN, Tuban,
Rembang dan Jepara. diyakini sebagai kuburan atau bekas petilasan syech subakir. 

Istilah memasang tumbal dalam kisah Syaikh Subakir, berkaitan dengan usaha rohani mensucikan suatu tempat, dengan cara menanam "tanah" di tempat yang dianggap angker.

Kisah-kisah legendaris tentang kedatangan orang-orang lor asal persia dan tokoh Syaikh Subakir,  tidak saja meninggalkan jejak pada catatan-catatan historiografi, melainkan menjadi cerita lisan( folk-tale) yang dikaitkan dengan keberadaan makam-makam tua yang di keramatkan masyarakat.

Dalam catatan sejarah, pada abad ke-10 sudah digambarkan dengan jelas keberadaan ribuan pedagang muslim di kota Canton meski dalam catatan mas 'udi yang dikutip J Sauvaged dalam relation de la chine et de L' Indie redigee  en thn 851. Di gambarkan  kisah  hancurnya masyarakat dagang  muslim  di Canton.
Pada tahun 879  akibat pemberontakan Huang Chao. Kontak-kontak dagang antara Cina dan dunia Islam dilakukan lewat jalur laut, melalui perairan Indonesia. sayangnya,  menurut  Ricklefs dalam sejarah Indonesia modern ,1200-1800, kehadiran muslim dari luar kawasan Indonesia tidak menunjukkan bahwa negara-negara Islam lokal Telah berdiri, tidak pula bahwa telah terjadi perpindahan agama dari penduduk lokal, dalam tingkat yang cukup besar.

Fakta sejarah terkait, belum dianutnya agama Islam oleh penduduk pribumi Nusantara, terlihat pada bukti faktual pada dasawarsa akhir abad ke-13, sewaktu Marcopolo kembali ke Italia lewat laut dan sempat singgah di negeri Perlak.

Saat itu, Marcopolo mencatat bahwa penduduk Perlak terbagi atas tiga golongan masyarakat. Sebagai pemukimnya diantaranya:
  1. Kaum muslim China, 
  2. Kaum muslimin persia, Arab, dan 
  3. Penduduk pribumi yang masih memuja roh-roh, dan kanibal. Bahkan dua Pelabuhan dagang di dekatnya, yaitu Basma dan Samara menurut Marcopolo, bukanlah kota Islam.

Pada perempatan akhir abad ke-14 terjadi perpindahan penduduk muslim Cina di Canton, yangchou dan  chanchou ke selatan. mereka menghuni pantai utara Jawa dan pantai Timur Sumatera.

Dalam 7 Kali muhibah Cheng Ho ke selatan, tercatat bahwa Islam belum dianut penduduk pribumi secara luas.

 Menurut groeneveld, pada kunjungan muhibah pertama yang terjadi tahun 1405 masehi, Cheng Ho mendapati keberadaan komunitas Cina Muslim di Tuban, Gresik, dan Surabaya masing-masing sejumlah 1000 keluarga.

Menurut Fr. Hirth & WW rockhill dalam catatanya  chau ju khua: Yang mengutip tulisan haji Ma Huan yang mengikuti muhibah Cheng Ho ke 7 pada tahun 1433 masehi,
Pada masa itu terdapat tiga golongan penduduk di sepanjang pantai utara Jawa: orang-orang muslim Tionghoa, orang-orang muslim dari barat, (Persia Arab) dan warga pribumi yang masih kafir, memuja roh-roh dan Hidup Sangat kotor.

Meskipun belum luas dianut penduduk, sejumlah bukti arkeologi menunjukkan bahwa beberapa orang keluarga raja dan pejabat tinggi Majapahit pada puncak kebesarannya pada pertengahan abad ke-14 masehi, diketahui telah menganut Islam, sebagaimana terbukti pada situs nisan Islam tralaya, yang menunjuk adanya komunitas muslim pada masa kejayaan Majapahit.
Hal ini, dikuatkan dengan berita keberadaan (masigid agung) masjid agung di selatan lapangan Bubat sebagaimana terdapat dalam kidung Sunda.

Menurut Louis Charles damais dalam Etudes javanaises I: Les Tombes Musulmanes datees de Tralaya,   batu batu nisan Tralaya yang menggunakan angka tahun Saka, dan angka-angka Jawa kuno, bukan tahun Hijriah dan angka-angka Arab, menunjukkan bukti bahwa yang dikubur di makam makam tersebut adalah muslim Jawa bukan muslim non Jawa.

Dalam historiografi Jawa, disebutkan bahwa Putri seorang penguasa Surabaya, bernama Arya lembu Sura, diperistri oleh raja Majapahit Brawijaya 3.

Raja Surabaya yang bernama Arya lembu Sura itu, adalah seorang penguasa beragama Islam. Putri area lembu Sura yang lain, dikisahkan, menikah dengan tokoh Arya Teja, penguasa beragama Islam dari Tuban. Menilik namanya, lembu, dipastikan bahwa penguasa muslim Surabaya Itu, keluarga Raja Majapahit.

Selain Arya lembu Sura, di Surabaya, juga telah dikenal sejumlah nama tokoh muslim, yaitu Ki Ageng Bungkul penguasa wilayah Bungkul di Selatan Surabaya.

Selain itu, ada pula seorang muslim berkedudukan sebagai Laksamana laut Majapahit, yang bernama Pangeran Reksa Samudra serta seorang pejabat yang berkuasa di wilayah perbatasan barat laut, Surabaya bernama  ki bang kuning.

Sementara dalam berbagai sumber historiografi, Raja Brawijaya 5, yang bernama Sri kertawijaya  dikisahkan, menikahi seorang muslimah asal campa, bernama Darawati yang datang ke Majapahit, membawa pusaka berupa pedati bernama Kiai Jebat Betri, dan Gong pusaka, bernama Mahesa lawung. Makam muslimah campa bernama darawati ini, sampai sekarang masih bisa dijumpai di Trowulan di area situs Majapahit.

Secara umum dapat dikatakan bahwa proses masuknya Islam ke Nusantara yang ditandai awal hadirnya pedagang-pedagang Arab dan persia pada abad ke-7 masehi, terbukti mengalami kendala sampai masuk pada pertengahan abad ke-15. Ada rentang waktu sekitar 8 abad (800 tahun), sejak kedatangan awal Islam. Agama Islam, belum dianut secara luas oleh penduduk pribumi Nusantara. Baru pada pertengahan abad ke 15, yaitu era dakwah Islam yang dipelopori tokoh tokoh sufi, yang dikenal dengan sebutan Walisongo. Para tokoh yang dikisahkan memiliki berbagai Karomah adikodrati, Islam dengan cepat diserap ke dalam asimilasi dan sinkretisme Nusantara.

Sekalipun, data sejarah pada era Ini, kebanyakan berasal dari sumber-sumber historiografi dan cerita tutur, yang pasti peta dakwah islam saat itu sudah bisa terdeteksi melalui jaringan ke keluarga, tokoh-tokoh Kramat beragama Islam, yang menggantikan kedudukan tokoh-tokoh, penting bukan muslim, yang berpengaruh pada masa akhir Majapahit seperti sunan ampel dan keluarga ketuunannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar