Sabtu, 07 September 2024

Petirtaan Ngawonggo: Warisan Kuno Jawa yang Memukau"

 

PETIRTAAN NGAWONGGO

Situs Petirtaan Ngawonggo, yang terletak di Kabupaten Malang, Jawa Timur, merupakan salah satu saksi bisu perjalanan panjang sejarah Jawa. Situs ini tidak hanya mencerminkan warisan dari era Mataram Kuno, tetapi juga mencerminkan bagaimana masyarakat lokal menjaga hubungan spiritual mereka dengan alam dan budaya melalui generasi. Mulai dari masa kejayaan Hindu-Buddha, penyebaran Islam, hingga upaya pelestarian modern, Ngawonggo telah menjadi bagian integral dari identitas lokal yang kaya dengan sejarah dan spiritualitas.

 Ngawonggo sebagai Mandala Suci (943 Masehi)

Situs Petirtaan Ngawonggo pertama kali diketahui berasal dari era Mpu Sindok, penguasa Kerajaan Mataram Kuno sekaligus pendiri Dinasty isyana, yang memindahkan pusat kekuasaannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Perpindahan ini didorong oleh berbagai faktor, seperti bencana alam yang melanda Jawa Tengah dan ancaman dari kerajaan-kerajaan tetangga termasuk yang uutama adalah serangan dari musuh bebuyutanya kerajaan Sriwijaya divisi Jambi. Mpu Sindok memerintah antara tahun 929 hingga 947 Masehi, dan pada masanya, muncul berbagai tempat suci di wilayah Jawa Timur, termasuk Kaswangga, yang disebutkan dalam Prasasti Wurandungan (Kanuruhan B) bertarikh 943 Masehi. Kaswangga diduga kuat merupakan nama kuno dan nama lain  dari Ngawonggo.

Sejak awal, Petirtaan Ngawonggo memiliki fungsi religius sebagai tempat suci, untuk menyucikan diri bagi para rohaniwan Hindu dan Buddha. Dalam tradisi Hindu, air memiliki makna spiritual yang sangat mendalam, sebagai lambang pemurnian dari dosa dan energi negatif. Oleh karena itu, petirtaan atau kolam suci seperti yang ada di Ngawonggo sangat penting dalam kehidupan keagamaan pada masa Mataram Kuno. Para pendeta dan bangsawan akan menggunakan petirtaan ini sebelum melaksanakan upacara atau persembahan besar di candi-candi utama, seperti Candi Singosari dan Candi Badut, dan candi cndi laian nya yang berada di Jawa Timur.

KULINER NGAWONGGO

Petirtaan Ngawonggo didesain sebagai bagian dari "mandala" atau "kahyangan," istilah dalam bahasa Sanskerta yang berarti tempat suci atau kediaman para dewa. Mandala ini merupakan bagian dari sistem keagamaan yang tidak hanya berfokus pada bangunan fisik, tetapi juga pada makna spiritual di balik ritual penyucian yang dilakukan di sana. Struktur kolam dan pancuran di situs ini diyakini mengalirkan air dari sumber mata air alami yang dianggap memiliki kekuatan ilahi. Air tersebut digunakan untuk berbagai upacara penting, termasuk ritual mandi penyucian atau "tirthayatra," yang hingga kini masih menjadi tradisi dalam agama Hindu.

Kolam-kolam di Petirtaan Ngawonggo tidak hanya menjadi sarana untuk pembersihan fisik, tetapi juga sebagai bagian dari proses meditasi dan refleksi spiritual. Relief-relief yang ada di sekitarnya menggambarkan berbagai dewa dan makhluk mitologis yang terkait dengan kepercayaan Hindu dan Buddha, menguatkan fungsi spiritual dari situs ini.

 Legenda Mbah Surayuda (1476 Masehi)

Seiring dengan berakhirnya era Kerajaan Mataram Kuno sampai kerajaan mojopahit, Jawa Timur mulai mengalami perubahan besar dengan masuknya Islam pada abad ke-15. Proses penyebaran Islam di Jawa Timur dipelopori oleh para wali dan ulama, terutama Wali Songo, yang dikenal sebagai tokoh-tokoh penting dalam proses Islamisasi Pulau Jawa. Di wilayah Malang, salah satu tokoh yang memiliki peran besar menurut tradisi lokal adalah Mbah Surayuda, atau dikenal juga dengan Mbah Jalaludin, seorang murid Sunan Bayat dari Klaten, Jawa Tengah. Menurut legenda, Mbah Surayuda diutus untuk menyebarkan Islam di wilayah Ngawonggo pada sekitar tahun 1476 Masehi.

Namun, seperti banyak cerita rakyat lainnya, tidak ada bukti arkeologis yang kuat yang dapat mengonfirmasi kebenaran kisah ini. Meskipun demikian, kisah Mbah Surayuda mencerminkan bagaimana situs-situs suci Hindu-Buddha diadaptasi oleh masyarakat setempat dalam konteks Islam, sebagai budaya adiluhung yang semakin dominan pada masa itu. Tradisi lisan ini juga menunjukkan adanya kesinambungan antara kepercayaan lama dan baru, di mana nilai-nilai dan tempat-tempat suci Hindu-Buddha tetap dipertahankan dalam bentuk yang berbeda, sering kali dengan simbolisme Islam yang ditambahkan.

PETIRTAAN DAN RELIEF
Cerita tentang Mbah Surayuda tidak hanya menjadi bagian dari narasi sejarah, tetapi juga sebagai sarana masyarakat lokal untuk menegaskan bahwa situs-situs seperti Petirtaan Ngawonggo tetap memiliki nilai spiritual di tengah-tengah perubahan agama dan budaya. Keberlanjutan spiritualitas situs ini meskipun dalam bentuk yang berbeda, memberikan gambaran tentang bagaimana masyarakat Jawa Timur beradaptasi dengan pengaruh luar, tetapi tetap menjaga warisan budaya mereka.

 Era yang Berjalan Seiring Waktu (1476 - 1970-an)

Setelah masa penyebaran Islam, Petirtaan Ngawonggo tidak kehilangan fungsi sakralnya. Meskipun tidak lagi digunakan secara luas oleh rohaniwan Hindu-Buddha, masyarakat lokal masih menggunakan air dari pancuran di situs tersebut untuk kebutuhan sehari-hari, baik untuk mandi maupun upacara-upacara adat. Air dari petirtaan dipercaya memiliki kekuatan magis, mampu menyembuhkan penyakit, dan memberikan keberuntungan. Kepercayaan ini diwariskan secara turun-temurun, mencerminkan bagaimana masyarakat lokal terus menghormati situs tersebut sebagai tempat yang memiliki kekuatan spiritual.

Namun, perubahan teknologi dan akses terhadap air bersih di desa-desa sekitar mulai menggeser peran petirtaan ini. Sejak diperkenalkannya sumur dan jaringan air PDAM pada pertengahan abad ke-20, pancuran di situs ini mulai ditinggalkan. Vegetasi tumbuh liar dan menutupi sebagian besar situs, dan kolam-kolam petirtaan menjadi tertutup lumpur. Pada periode ini, situs Petirtaan Ngawonggo mulai dilupakan oleh banyak orang, meskipun masih ada beberapa warga yang mengenangnya sebagai tempat suci yang penuh dengan arca dan relief.

 Penemuan Kembali (1970-an - 2017)

Pada tahun 1970-an, warga sekitar mulai menyadari bahwa terdapat peninggalan-peninggalan kuno di Ngawonggo, yang mereka sebut sebagai "reca" atau arca. Namun, kesadaran bahwa situs ini adalah petirtaan kuno dari era Mataram Kuno belum sepenuhnya muncul. Situs ini hanya dilihat sebagai tempat yang memiliki sejumlah arca tanpa pemahaman yang mendalam tentang sejarah atau fungsinya sebagai tempat penyucian.

Momentum penemuan kembali situs ini terjadi pada tahun 2017 ketika seorang warga bernama Yasin, bersama rekan-rekannya, mengunggah video tentang situs Ngawonggo di kanal YouTubenya. Video tersebut menjadi viral di kalangan pegiat sejarah dan menarik perhatian komunitas arkeologi, termasuk Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur. Tindakan ini membuka jalan bagi ekskavasi resmi yang dilakukan pada bulan Mei 2017. Ekskavasi ini berlangsung selama sembilan hari dan melibatkan warga lokal yang bekerja bersama tim arkeolog.

Ekskavasi mengungkap berbagai relief dan struktur kolam yang sebelumnya tertimbun oleh lumpur dan ditumbuhi vegetasi. Temuan ini menegaskan bahwa situs tersebut adalah sebuah petirtaan yang penting pada masa Mataram Kuno, dengan relief-relief yang masih utuh menggambarkan mitologi Hindu. Kolam-kolam yang ditemukan juga memperlihatkan pola yang sama dengan petirtaan lain di Jawa Timur yang berasal dari periode yang sama.

 Upaya Pelestarian oleh Masyarakat (2017 - Sekarang)

Setelah ekskavasi, upaya pelestarian situs ini tidak hanya dilakukan oleh lembaga pemerintah, tetapi juga oleh masyarakat setempat. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang dipimpin oleh Yasin mengambil peran penting dalam menjaga situs ini. Mereka secara rutin melakukan kegiatan kerja bakti untuk membersihkan area situs, merawat struktur yang sudah ditemukan, serta menjaga agar tidak ada vandalisme atau kerusakan akibat aktivitas manusia.

Namun, meskipun situs ini telah memenuhi syarat sebagai cagar budaya, hingga kini situs Petirtaan Ngawonggo belum diakui secara resmi oleh pemerintah sebagai situs cagar budaya. Pengakuan resmi ini penting, karena dengan status cagar budaya, situs tersebut akan mendapatkan perlindungan hukum serta dukungan finansial untuk pelestarian yang lebih baik. Meskipun demikian, inisiatif warga yang terus melibatkan diri dalam pelestarian situs ini patut diapresiasi sebagai upaya swadaya yang berharga.

 Potensi Wisata dan Pendidikan

Situs Petirtaan Ngawonggo memiliki potensi besar sebagai destinasi wisata sejarah dan edukasi. Keindahan arsitektur dan relief-relief yang ditemukan di sana merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan, terutama mereka yang tertarik dengan sejarah Jawa kuno. Selain itu, situs ini juga dapat berfungsi sebagai sarana edukasi untuk mengajarkan sejarah dan budaya kepada generasi muda. Melalui pemahaman yang lebih serius tentang sejarah situs ini, masyarakatpun dapat lebih menghargai warisan budaya mereka dan berkontribusi pada upaya pelestarian. dengan semakin bertambah nya pengunjung dan penataan sarana rekreasi nya, situs ini akan semakin di kenal masyarakat di wilayah Malang raya pada kususnya dan Jawa timur pada Umumnya.


di rangkum dari berbagai sumber.
Pak J 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar