Kamis, 22 Agustus 2024

“Panggilan dari Bendungan yang Retak”


Kisah ini bukan hanya tentang seorang pemuda di desa kecil. Ini adalah kisah tentang rakyat yang berjuang untuk keadilan, tentang suara-suara yang tak akan pernah terabaikan, dan tentang harapan yang, meski sempat padam, akan menyala kembali.

Di sebuah negeri yang pernah dijuluki sebagai permata timur, suara-suara riuh mulai merayap di balik tembok-tembok yang dulunya dihiasi dengan harapan. Suara itu bukanlah angin sepoi-sepoi yang menenangkan, melainkan jeritan hati yang menyayat, tak terperhatikan, dan semakin lama semakin keras, hingga mengguncang fondasi negeri tersebut.

Adalah Raka, seorang pemuda yang tinggal di sebuah desa kecil di kaki gunung wilis sebuah tempat yang konon gunung nya sudah tidak aktif lagi. Dia tumbuh besar dengan cerita-cerita tentang perjuangan nenek moyangnya, tentang kebebasan yang diperoleh dengan darah dan air mata. Raka selalu memandang pemimpin-pemimpin bangsanya dengan hormat. Baginya, mereka adalah penuntun jalan menuju masa depan yang lebih baik.

Namun, beberapa tahun terakhir ini, Raka mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda. Setiap kali dia mendengar pidato dari para pemimpin di televisi, setiap kali dia membaca berita tentang keputusan politik yang diambil, hatinya merasakan sebuah kekosongan. Harapan yang dulu ada mulai memudar, digantikan oleh rasa resah yang perlahan menjalar.

Di kota besar, jauh dari desa Raka, lahir generasi baru politisi, yakni generasi yang katanya pernah di godok di kawah candradimuka untuk lahir sebagai manusia yang punya kepemimpinan, punya niat baik dan kepedulian terhadap bangsa dan negarannya. Mereka disebut “Telur-telur Partai.” Masyarakat menaruh harapan besar pada mereka. Mereka diharapkan membawa angin segar, perubahan yang dinanti-nantikan. Tetapi, semakin lama mereka duduk di kursi kekuasaan, semakin terlihat bahwa mereka hanya melanjutkan praktik-praktik lama. Kebijakan yang diambil tidak lagi mencerminkan suara rakyat, melainkan suara partai dan kelompok kecil yang membersamai mereka.

Suatu hari, Raka mendengar kabar tentang putusan Mahkamah Konstitusi yang diabaikan oleh para “Telur-telur Partai.” Keputusan yang seharusnya menjadi pilar hukum dan demokrasi diubah dengan mudahnya, seakan hanya permainan di tangan para penguasa. Raka merasa kecewa, namun yang lebih menyakitkan adalah ketika dia menyadari bahwa para pemimpin ini, yang seharusnya menjaga kepentingan rakyat, justru semakin menjauh dan terkesan menjual kepercayaan masyarakat.

Rasa sakit ini tidak hanya dirasakan oleh Raka. Di seluruh pelosok negeri, rakyat mulai merasakan hal yang sama. Kecewa, dikhianati, dan ditinggalkan oleh mereka yang dulu memohon suara untuk mendapatkan kekuasaan. Di desa-desa, di kota-kota, di kampus-kampus, hingga di media sosial, rakyat bersatu, mengungkapkan keresahan mereka. Mereka berteriak, menyerukan “Darurat Demokrasi bagi Indonesia!”

Media sosial, yang dulunya dianggap sekadar tempat untuk berbagi cerita sehari-hari, kini menjadi medan perlawanan. Netizen, dari berbagai latar belakang, bergabung dalam satu suara. Mereka menyadari bahwa kekuatan sejati ada di tangan mereka, bukan di tangan segelintir elit yang duduk nyaman di kursi kekuasaan.

Raka pun ikut serta dalam perlawanan ini. Dia menulis, berbicara, dan berbagi cerita tentang penderitaan rakyat. Dia tahu, suara kecilnya mungkin tak akan terdengar jauh, tapi dia percaya bahwa setiap suara, setiap jeritan, adalah batu kecil yang bisa meruntuhkan tembok besar ketidakpedulian.

Suara-suara ini terus menggema, semakin lama semakin keras, seperti air yang tertahan di bendungan. Bendungan itu, yang selama ini dianggap kokoh, mulai retak. Penguasa, yang semakin jauh dari rakyat, semakin kehilangan kendali atas negeri yang seharusnya mereka pimpin dengan bijak.

Raka tahu, jika penguasa tak segera membuka mata dan telinga mereka, retakan ini akan menjadi celah besar yang bisa saja menjadi embrio jebolnya bendungan besar yang bernama Indonesia. Dan ketika bendungan itu jebol, airnya akan menerjang dengan kekuatan yang tak terhentikan menggilas apa saja yang di hadapan nya dan meratakan setiap bangunan simbol kemegahan penguasa. Negeri ini, yang pernah dijuluki sebagai permata timur, akan terancam oleh banjir bandang yang membawa kehancuran, yang kemudian hari hanya menyisakan sejarah pedih dan kelam untuk anak cucu bangsa.

Tetapi di balik semua itu, Raka percaya, bahwa di antara reruntuhan, selalu ada kesempatan untuk bangkit. Dan saat itulah, rakyat akan kembali mengambil alih takdir mereka, membangun kembali negeri ini dengan tangan mereka sendiri. dan menghantarkan negeri ini pada masa ke emasan yang peduli pada nasib rakyat ,bangsa dan negara.


2 komentar: