Minggu, 18 Agustus 2024

Jolotundo: Warisan Abadi di Lereng Penanggungan


 Di lereng barat Gunung Penanggungan, tersembunyi di tengah keheningan alam, berdiri sebuah situs kuno bernama Candi Jolotundo. Tempat ini bukan hanya sekadar bangunan batu, tetapi sebuah simbol cinta, kekuatan, dan misteri yang terjalin dalam sejarah Nusantara.

Segalanya dimulai pada abad ke-10, di pulau Bali, ketika Raja Udayana, penguasa yang bijaksana, dan permaisurinya Mahendradatta, menantikan kelahiran putra mereka. Udayana, dalam cinta kasihnya yang mendalam, memutuskan untuk membangun sebuah tempat suci sebagai wujud rasa syukur atas anugerah hidup yang akan segera mereka sambut. Di lereng Gunung Penanggungan, yang diyakini sebagai tempat sakral, ia memerintahkan pembangunan sebuah patirthan atau tempat pemandian suci, yang kelak dikenal sebagai Jolotundo.

Prabu Airlangga, putra mereka, lahir di tahun 913 Saka. Takdirnya telah ditulis dalam bintang-bintang sebagai seorang pemimpin besar. Namun, kehidupan muda Airlangga tak berjalan mulus. Ketika berusia 16 tahun, tragedi menimpanya. Serangan mendadak menghancurkan kedamaian kerajaan, memaksa Airlangga melarikan diri ke dalam hutan belantara, di mana ia harus bertahan hidup. Dalam pelarian ini, ia ditemani oleh Narottama, seorang hamba setia yang tidak pernah meninggalkannya.


Di tengah hutan yang gelap dan sunyi, di lereng Gunung Penanggungan yang angker, Airlangga memulai perjalanan spiritualnya. Ia bertapa, memuja para dewa dengan sepenuh hati, berharap mendapatkan petunjuk dan perlindungan. Para dewa, tersentuh oleh ketekunan dan ketulusan hati Airlangga, menurunkan berkah mereka, menjanjikan perlindungan ilahi yang akan memandu langkahnya kelak. Mereka melihatnya bukan hanya sebagai manusia biasa, tetapi sebagai titisan Dewa Wisnu yang akan membawa kedamaian dan keadilan bagi dunia.

Candi Jolotundo sendiri adalah mahakarya yang memancarkan kekuatan spiritual. Dibangun dari batu andesit yang kokoh, situs ini terdiri dari beberapa tingkat yang menggambarkan perjalanan spiritual menuju pencerahan. Di tengahnya, terdapat kolam berukuran 16x13 meter, dengan air yang memancur dari dinding batu, mengalir ke dalam kolam melalui pancuran-pancuran kecil yang dirancang menyerupai Gunung Penanggungan. Air ini dianggap suci oleh masyarakat setempat, diyakini membawa keberkahan dan kesucian bagi siapa saja yang menyentuhnya.


Menurut kisah yang tertulis dalam relief-relief di Candi Jolotundo, pembangunan patirthan ini adalah untuk menghormati leluhur dan memuja para dewa. Relief tersebut tidak hanya menghias dinding, tetapi juga menceritakan kisah-kisah epik dari Mahabharata dan Khatasaritsagara, dua kitab suci yang memiliki tempat khusus dalam tradisi Hindu. Relief Mahabharata, dengan detail yang mengagumkan, mengisahkan perjuangan para pahlawan Pandawa, sementara relief dari Khatasaritsagara menggambarkan pengasingan Raja Udayana dan ibunya, Margayawati, di Gunung Udayaparwa, sebelum akhirnya kembali bertemu dengan Raja Sahasranika, ayah Udayana.

Namun, ada misteri yang menyelimuti Candi Jolotundo. Para ahli sejarah telah berdebat selama bertahun-tahun mengenai fungsi sebenarnya dari situs ini. Beberapa berpendapat bahwa Jolotundo adalah makam Raja Udayana, didasarkan pada prasasti dan relief yang menyebutkan nama Udayana serta kata "gempeng" yang dapat diartikan sebagai "wafat." Namun, ini ditentang oleh pendapat lain yang mengatakan bahwa Udayana tidak mungkin dimakamkan di Jolotundo, karena sejarah mencatat bahwa ia masih memerintah di Bali hingga tahun 1021 Masehi. Ada juga yang meyakini bahwa candi ini adalah tempat pemujaan bagi leluhur, sebuah tempat suci yang dibangun untuk menghormati arwah para pendahulu yang agung.

Air Jolotundo adalah elemen terpenting dari situs ini. Mengalir dari mata air yang tersembunyi di balik dinding candi, air ini tidak pernah berhenti, tidak pernah kering, bahkan di musim kemarau yang paling parah sekalipun. Masyarakat setempat menyebut air ini sebagai "amartha"—air suci yang diyakini memiliki kekuatan penyembuhan dan membawa berkah. Orang-orang dari berbagai penjuru datang ke Jolotundo untuk mandi di kolam ini, berharap mendapatkan keberkahan, kesucian, dan kesehatan. Air ini dipercaya mampu menyembuhkan berbagai penyakit dan menjadi sumber kehidupan yang tidak pernah habis bagi warga desa Seloliman.


Jolotundo juga dikenal sebagai tempat yang sangat sakral dan penuh dengan keajaiban. Banyak yang percaya bahwa tempat ini adalah pintu gerbang menuju dunia spiritual, di mana manusia dapat berhubungan langsung dengan para dewa. Mereka yang mencari ketenangan batin dan kelepasan dari penderitaan duniawi sering datang ke sini untuk bermeditasi dan bertapa. Di tengah keheningan malam, di bawah sinar bulan yang lembut, mereka duduk di tepi kolam, membiarkan air suci menyentuh kulit mereka, meresapi kedamaian yang ditawarkan oleh tempat ini.

Jolotundo bukan hanya sebuah candi, tetapi juga sebuah simbol keabadian, di mana sejarah, spiritualitas, dan alam bersatu dalam harmoni. Tempat ini telah melewati ribuan tahun, namun masih tetap hidup dalam setiap tetes airnya yang mengalir tanpa henti, membawa pesan cinta, keberanian, dan kebijaksanaan dari masa lalu ke masa kini. Di sinilah, di tengah bayang-bayang Gunung Penanggungan, cerita tentang Airlangga, Udayana, dan Jolotundo akan terus diceritakan, menginspirasi generasi demi generasi yang datang mencari makna dalam perjalanan hidup mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar