Minggu, 08 November 2020

ilmu ke 12 Tragedi Karbala 10 Muharam, 61 H Dinasty Umayyah X

 

Ketika Muawiyah memegang tampuk kekhalifahan, kelompok Syi’ah tidak pernah melakukan pemberontakan terbuka

terhadap Muawiyah bin Abu Sufyan. Begitu pula Al-Husain bin Ali yang dianggap kelompok Syiah sebagai imam, dan pemimpin mereka. Bahkan Al-Husain juga tidak menggubris ajakan penduduk Irak untuk memberontak terhadap Muawiyah.

Muawiyah secara umum memperlakukan Al-Husain dengan sebaik-baiknya. Meskipun demikian, pasca meninggalnya Muawiyah pada tahun 60 H, kondisi berubah. Dari sanalah meletus perlawanan Al-Husain terhadap Yazid bin Muawiyah. 


Saat Muawiyah meninggal, Al-Husain sedang berada di kota Madinah. Yazid kemudian mengutus wali kota Madinah, Al-Walid bin Utbah. Melalui walikota, Yazid memberi kabar kematian Muawiyah, dan memerintahkan agar Walid menerima baiat Al-Husain, dan Abdullah bin Az-Zubair. Ketika Walid memanggil, dan meminta baiat dari mereka untuk Yazid bin Muawiyah. Mereka meminta waktu tenggang, tetapi tidak pernah memberikan baiat.

Pada malam yang sama, Al-Husain dan Ibnu Az-Zubair pergi ke Mekkah. Ketika dalam perjalanan ke Mekkah, mereka bertemu dengan Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar. Ketika bertemu, Ibnu Abbas, dan Ibnu Ummar memberikan nasehat kepada mereka berdua, supaya bertakwa kepada Allah dan jangan pecah belah kaum muslim.

Sesampainya di Mekkah, utusan-utusan, dan surat-surat berdatangan dari Kufah yang bernada penuh emosi. Mereka berkata kepada Al-Husain, “Kami telah menahan diri kami demi engkau. Kami tidak Sholat Jumat bersama penguasa. Maka, datangilah kami.” Karena mereka terus memaksa, Al-Husain memerintahkan saudara sepupunya, Muslim bin Uqail, untuk pergi ke Kufah dalam rangka membuktian kebenarannya.


Muslim berangkat dari Mekkah pada pertengahan Ramadhan, dan tiba di Kufah pada tanggal 5 Syawal 60 H. Mengetahui kedatangan Muslim, penduduk Kufah datang menemuinya. 12 ribu orang berjanjuisetia padanya. Ada yang berpendapat 18 ribu. 

Kecerobohan gubernur Kufah, An-Nu’man bin Basyir al-Anshari, membuat orang-orang Kufah leluasa berhubungan dengna Muslim. Mendengar penuturan penduduk Kufah, Muslim kemudian mengirim utusan kepada Al-Husain tentang janji setia penduduk Kufah, dan bahwa keadaan baik-baik saja. Muslim juga meminta Al-Husain untuk datang ke Kufah.

Pada saat Muslim bin Uqail menunggu kedatangan Al-Husain, salah seorang pendukung Yazid di Kufah, melaporkan hal itu kepada khalifah Yazid. Yazid pun memecat An-Nu’man, dan menggantinya dengan Ubaidillah bin Ziyad gubernur Bashrah. Yazid kemudian memerintahkan Ubaidillah bin Ziyad agar membunuh Muslim. Ubaidillah segera ke Kufah dan mencari Muslim. Saat itu Muslim bersembunyi di rumah salah seorang tokoh Kufah, Hani bin Urwah Al-Muaradi. Ketika Ubaidillah mengetahui persembunyiannya, ia menangkap mereka berdua, dan langsung membunuhnya.

Sifat asli penduduk Kufah mulai nampak, ketika Ubaidillah mengeksekusi Muslim, dan Hani. Mereka layaknya patung yang diam melihat Hani, dan Muslim dibunuh di depan mereka. Mereka mengingkari janji mereka kepada Al-Husain. Sehingga Muslim bin Uqail menjadi korban atas sikap tergesa-gesanya sendiri. ia tidak menyelidiki loyalitas, dan ketulusan penduduk Kufah terlebih dahulu.


Ketika surat Muslim bin Uqail tentang janji setia penduduk Kufah, dan kepatuhan sampai kepada Al-Husain, dia telah siap berangkat ke sana. Beberapa sahabat sempat melarangnya berangkat, namun hal tersebut tidak mengurungkan niat Al-Husain untuk ke Kuffah.


 Dia berangkat bersama keluarganya, dan sekitar 70 pasukannya. Sesampai mereka di Al-Qadisiyah, Al-Hurr bin Yazid At-Tamimi memberitahukan kabar, bahwa Muslim bin Uqail telah terbunuh, dan meminta Al-Husain untuk kembali.

Mendengar kabar tersebut, Al-Husain sempat mempunyai pikiran untuk kembali, tetapi saudara-saudara Musli berkata “Demi Allah, kami tidak kembali sebelum kami membalas dendam atau kami semua terbunuh.” Nafsu untuk balas dendam telah menguasai saudara-saudara Muslim, mereka tetap memaksakan untuk membalas dendam meskipun itu sama saja misi bunuh diri.


Al-Husain pun terus melakukan perjalanan sampai Karbala. Sementara itu, Ubaidillah bin Ziyad yang mengetahui keberangkatan Al-Husain ke Karbala, telah mempersiapkan pasukan untuk memeranginya. 

Panglima pasukan itu adalah pura seorang sahabat, yakni Umar bin Sa’ad bin Abu Waqqash. Pasukan tersebut berkekuatan 3000 pasukan.

Ketika di sampai di Karbala, kelompok Al-Husain bertemu dengan Umar bin Sa’ad. Kamp kedua kelompok tersebut berdekatan, dan orang-orang dari kedua kelompok ini bercampur baur. Bahkan, ketika waktu sholat tiba, sebagian pasukan Umar bin Sa’ad ikut sholat menjadi makmum Al-Husain. 


Pada waktu itu Al-Husain memberikan tawaran kepada Umar bin Sa’ad sebagaimana berikut: “Pilihlah antara engkau membiarkanku pulang ke tempat asalku, engkau membiarkanku menemui Yazid, atau engkau membiarkanku pergi ke daerah-daerah perbatasan.”

Umar bin Sa’ad senang mendengar tawaran Al-Husain, karena  saat ia berangkat untuk menghadang Al-Husain pun dengan berat hati. Umar bin Sa’ad kemudian menulis surat kepada Ubaidillah, perihal tawaran tersebut. Ibnu Ziyad menolak tawaran tersebut, dan hanya mau jika Al-Husain menjadi tawanan. Al-Husain tentu saja menolak menjadi tawanan, dengan mengatakan “Demi Allah, hal itu tidak akan terjadi selamanya.”

Dengan penolakan Al-Husain untuk menyerahkan diri kepada Ibnu Ziyad, terjadilah perang yang tidak seimbang. Al-Husain dan kelompoknya habis dibunuh. Diantara mereka ada tujuh belas pemuda Ahlu Bait. Sebelum terbunuh Al-Husain sempat mengatakan “Ya Allah putuskanlah hukum antara kami dan kaum yang mengundang kami untuk menolong kami lantas malah membunuh kami.”

Al-Husain terbunuh pada hari Asyura 10 Muharram, 61 H/ 10 Oktober, 680 M. Setelah itu kepala jasadnya dipenggal oleh Shimr bin Dhiljawshan dan dikirimkan kepada Yazid beserta dan istri-istrinya dan saudara-saudara perempuannya. Anak laki-laikinya yang tersisa hanyalah Ali Zainal Abidin. Sesampainya di Damaskus, Yazid memasukkan mereka ke rumahnya, memuliakan mereka, dan mengasihani Ali bin Al-Husain. Kemudian Yazid menyiapkan mereka untuk dipulangkan ke Madinah, dan mengembalikan bagian kepala Al-Husain untuk dikuburkan.


Pada dasarnya Yazid sama sekali memerintahkan Ibnu Ziyad untuk membunuh Al-Husain, dan tidak merasa senang dengan peristiwa tersebut. Ketika Al-Husain meninggal ia menangisinya, dan sedih karena pembunuhan itu. Bahkan sebelum Al-Husain berangkat ke Kufah, Yazid sempat mengirimkan surat kepada Abdullah bin Abbas untuk mencegah keberangkatan Al-Husain.  Namun, sebagai pemimpin sikap kurang tegasnya dalam memberikan komando terhadap Ibnu Ziyad, juga menjadi penyebab tragedi tersebut terjadi. 


Seharusnya ia memberikan perintah jelas kepada Ibnu Ziyad, agar tidak membunuh Al-Husain, dan menyikapinya dengan bijaksana dan penuh pertimbangan. Apalagi, Muawiyah telah berwasiat sebelumnya agar ia memaafkan Al-Husain jika penduduk Irak memancingnya untuk bergerak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar